KARAWANG, JEJAK HUKUM - Beberapa hari terakhir, media sosial dihebohkan dengan dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh salah satu oknum guru di SMPN 2 Kutawaluya.
Oknum tersebut diduga menagih sumbangan kepada orang tua siswa melalui pesan WhatsApp, menyusul sosialisasi yang dilakukan dalam rapat komite sekolah bulan lalu. Dalam pesan tersebut, siswa kelas IX diminta segera melunasi sumbangan sebesar Rp 700.000 yang belum dibayarkan.
Guru berinisial R, yang merupakan wali kelas IX di SMPN 2 Kutawaluya, diduga menjadi pihak yang menagih sumbangan tersebut sekitar sepekan lalu.
Saat dikonfirmasi, Kepala Sekolah SMPN 2 Kutawaluya, H. Oman Rusmana, S.Pd., M.Pd., mengakui adanya penagihan tersebut.
“Memang benar ada penagihan sumbangan pendidikan melalui pesan WhatsApp yang dilakukan oleh guru R, yang merupakan wali kelasnya,” ujar Oman saat ditemui setelah rapat dengan para kepala sekolah, Selasa (4/2/25).
Lebih lanjut, Oman menyatakan bahwa masalah ini sudah diklarifikasi dan diselesaikan antara pihak sekolah dan orang tua siswa, serta dengan media yang telah memberitakan kejadian tersebut.
Terkait isu suap kepada beberapa oknum wartawan yang disebut mencapai jutaan rupiah, Oman memberikan penjelasan.
“Saya lakukan itu untuk menutupi permasalahan dan agar tidak memperpanjang masalah ini,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut dilakukan demi kebaikan sekolah dan tidak dianggap sebagai sebuah masalah.
Ditempat terpisah, praktisi hukum Alek Safri Winando menyatakan bahwa tindakan suap menyuap adalah perbuatan melanggar hukum dan bisa dikenai pidana.
Dikatakannya dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) menyatakan:
"Setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dalam jabatannya,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)."
Dalam pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999
"Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaannya atau yang berhubungan dengan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)," pungkasnya. (Red)